Simulasi layangan naga tim Wind Wave Power. |
ORATOR.ID -- Energi Baru Terbarukan (EBT) diharapkan dapat menggantikan energi konvensional untuk menjaga stabilitas suhu bumi.
Namun salah satu kendala utama dalam transisi energi, adalah besarnya investasi.
Kementerian ESDM (2023) memperkirakan kebutuhan dana untuk pengembangan EBT mencapai 28,5 miliar dolar AS per tahun.
Padahal realisasinya pada tahun 2022 hanya sekitar 2%, yaitu sebesar 1,55 miliar dolar AS.
Berangkat dari ide penyediaan listrik yang ramah lingkungan,
Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pertamina (UPER), yaitu I Putu Krisna Adi Putra, Laela Vutri, Sophia Az-Zahro Setiawan, Gifari Fadhil Rahman, dan Syifa Sabrina, mengembangkan layangan penghasil listrik.
Dinamai Wind Wave Power, karya mereka mengantarkan tim UPER ke jajaran 9 besar nasional dalam kompetisi bergengsi Tech Planter.
“Tergerak oleh impian untuk menghadirkan cahaya di pelosok nusantara, kami mengembangkan alat yang memanfaatkan angin sebagai sumber energi," kata Krisna, Ketua Tim Wind Wave Power.
"Layangan naga kami, yang terdiri dari 45 layangan dengan panjang 25 meter, mampu menghasilkan daya 10 Watt dalam waktu 30 menit penerbangan, yang dapat menyalakan lampu selama 9 jam,” tambahnya.
Cara kerja layang-layang dalam menghasilkan listrik tersebut tergolong sederhana.
Layangan terhubung dengan baling-baling yang memutar generator DC, kemudian energi kinetik angin dikonversi menjadi energi mekanik, untuk memutar rotor.
Listrik yang dihasilkan disimpan dalam baterai berkapasitas 7,5 Ah, lalu ditransmisikan ke inverter AC 220 Volt untuk siap digunakan.
“Kami terinspirasi oleh SkySails, teknologi inovatif dari Jerman yang memanfaatkan layangan raksasa untuk mengubah energi angin menjadi daya dorong bagi kapal dan listrik, malu kami sesuaikan dengan kearifan lokal Indonesia, yaitu menggunakan layangan sederhana," ucapnya.
Setelah melakukan riset, sambungnya, menemukan bahwa layangan yang lebih panjang dan besar dapat memberikan daya angkat dan stabilitas lebih tinggi, meningkatkan efisiensi output-nya.
"Selain itu, produk kami juga dilengkapi dengan pendeteksi hujan. Jika terjadi hujan, pendeteksi ini akan secara otomatis mengirimkan sinyal ke operator layangan,” tambah Krisna.
Menariknya, karya Krisna dan tim merupakan produk berbasis riset yang dikembangkan oleh mahasiswa.
Sementara di antara delapan finalis lainnya dalam kompetisi Tech Planter, sebagian besar sudah berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Tech Planter sendiri adalah kompetisi inovasi bisnis berbasis teknologi dan pengetahuan yang diadakan oleh Leave a Nest, sebuah perusahaan asal Jepang, yang tersebar di wilayah Asia seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Jepang.
“Wind Wave Power adalah solusi inovatif untuk pembangkit listrik alternatif yang sederhana dan lebih terjangkau dibandingkan dengan turbin angin konvensional," ujar Aisyah Abdul Hamid, Asisten Manajer Frontier Development Division, Leave a Nest Malaysia.
Inovasi ini diharapkan dapat terus dikembangkan dan berkolaborasi dengan Leave a Nest sebagai penyedia energi bersih.
Saya sangat mengapresiasi inisiatif ini, terutama karena Wind Wave Power menjadi satu-satunya peserta dari kalangan mahasiswa,” sebut Aisyah.
Sementara itu, Rektor Universitas Pertamina, Prof. Dr. Ir. Wawan Gunawan A. Kadir MS, turut bangga atas inovasi yang dilakukan oleh tim Wind Wave Power.
"Saya menyampaikan apresiasi yang besar kepada mahasiswa tim UPER yang berhasil menciptakan karya yang menghadirkan solusi nyata bagi energi masa depan," bebernya.
Sebagai universitas yang memiliki kedekatan dengan lingkungan industri, Universitas Pertamina secara konsisten mendukung mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu dan pembelajaran di kelas melalui berbagai kegiatan, seperti kolaborasi proyek dengan industri, riset bersama dosen dan praktisi, serta dukungan dalam mengikuti kompetisi.
"Harapannya, para lulusan dapat menjadi agen perubahan yang mampu menjawab tantangan energi global,” tutup Wawan. (OID)